Cemburukah Engkau, Ya Allah? Oleh Emha Ainun Nadjib
BERITA
Gus Mik telah diperkenankan untuk kembali ke rumahnya yang asli, dan kita semua ditinggalkan olehnya, kesepian di sini. Untunglah kita mengerti bahwa cinta kasihnya kepada kita senantiasa meluap dan tak terperi. Dan itu tak akan berkurang, bahkan cinta beliau kini telah mendaki ke ufuk cahaya yang paling sejati.
Ya Allah, ya Rabbi, ya Fahim, ya Alim! Betapa tololnya pengetahuan kita. Sudah sejak beberapa waktu yang lalu Allah mengabarkan berita duka ini, tapi telinga kita semua sungguh tuli. Gus Mik sendiri telah pula secara agak terus terang memberitahukan, tetapi kepercayaan kita kepadanya ternyata tak kunjung menjadi keyakinan.
Dulu, di tahun 1960-an, Gus Ud, seorang wali Allah dari Kedung Cangkring, Sidoarjo, suka menangis-nangis, merengek-rengek, merajuk-rajuk di tengah orang di tengah jalan raya. Ia menangisi kedunguan semua orang di sekitarnya: "Kalian ini bagaimana sih? Kanjeng Nabi Muhammad datang bertamu ke tengah-tengah kita sejak pagi-pagi buta tadi, tapi kita sibuk sendiri-sendiri, mengurusi uang, ambisi, dan apa saja yang belum tentu berarti."
Ya. Tapi kita ini manusia modern yang pongah. Telinga kita hanya terlatih untuk mendengarkan suara riuh rendah orang tawar-menawar barang, perintah-perintah politik, knalpot, atau musik rap. Mata kita hanya terdidik untuk menatap benda-benda di toko-toko, film-film eksoterik, serta segala materi yang tiap hari membengkakkan nafsu, dengki, cemburu, dan benci kepada sesama makhluk Allah. Kita tidak terlatih untuk memandangi kesenyapan dan mendengarkan kesunyian. Ketika mendadak Gus Mik pergi, kita tidak sungguh-sungguh siap melepaskannya, karena kita memang tidak belajar untuk mengenali siapa yang kini harus kita lepaskan.
Gus Mik, aku tidak mengantarkanmu bersama mereka. Aku tidak berada di tengah ribuan orang yang berjejal-jejal dalam ratap tangis itu. Maafkanlah.
Pertama, karena sungguh tak pantas aku mengantarkanmu. Kedua, entah kenapa Allah selalu melemparkanku ke tempat jauh dari situasi duka jenis itu. Ketika kakek kinasihku wafat, tatkala ayah tercintaku meninggal, tatkala nenek dan adikku, serta tatkala sekalian almahbubin itu dipanggil kembali oleh-Nya: selalu saja aku sedang bekerja di seberang ruang.
Seharusnya aku berada di Surabaya hari itu, bersama Pak Umar Kayam, Gus Dur, teman-teman seniman, dan pecinta Kota Surabaya. Tetapi entah kenapa gelap menghadangku, sehingga kakiku terkunci, aku tak berangkat ke timur, tanpa bisa menemukan alasan kenapa tak berangkat ke timur.
Gus Mik, maafkanlah aku. Jangan engkau ralat doa-doa tulusmu buatku. Jangan engkau batalkan doa-doa luhur, dambaan-dambaan mulia, yang setiap saat engkau panjatkan kepada Allah kekasih-Mu buat siapa saja di muka bumi ini: orang kebanyakan, pejabat-pejabat, para penyanyi, pengacara, polisi, seniman, pelacur, pedagang, siapa saja.
Gus Mik, kami telah belajar bahwa salah satu manusia yang luhur adalah yang mendoakan siapa saja agar melangkah ke khusnul khathimah kehidupannya.
Dan engkau melakukan itu sepanjang pengembaraanmu. Engkau duduk berjam-jam menyediakan tanganmu untuk silaturahmi keyakinan umat. Engkau memasuki ruang-ruang gelap, engkau menelusuri pojok-pojok fitnah kehidupan dengan menyandang derita jauh di lubuk jiwamu. Derita orang yang tak akan bisa dipahami.
Derita orang yang mutlak selalu disalahpahami. Derita Nabinda Ibrahim yang jika hidup di Surabaya sekarang, pasti akan ditangkap polisi karena mengaku mendapatkan hidayah agar menyembelih anak kandungnya sendiri.
Derita Nabinda Ismail yang pasti akan dikurung oleh Tim SAR karena dianggap melakukan keputusan yang mengancam nyawanya sendiri. Juga derita Maha Nabinda Khidlir yang pasti dijadikan buron kakap karena telah membocorkan kapal, mencekik anak kecil, dan menggali tanah yang bukan miliknya. Gus Mik, aku merasa getir: kenapa Nabinda Musa bertanya kepada Khidlir-mu? Sehingga akhirnya harus engkau tinggalkan?
Dulur-mu di Jombang, Gus Nur, di tahun 1960-an, juga akhirnya meninggalkan Musa dengan hati sedih. Khidlir hadir padanya: anak kecil itu mendadak hafal seluruh Alquran sampai setiap ayatnya, baris-barisnya, halamannya pada versi penulisan "klasik" maupun pascanya. Gus Nur memanggul karamah, dengan adzan kuantarkan berkhotbah di mana-mana dari desa ke desa, mendirikan masjid-masjid, menuding isi hati setiap orang yang dijumpainya, menguakkan tabir-tabir rahasia.
Memang, terikat kehidupan nyata wong cilik, pada saat-saat tertentu berposisi lebih diunggulkan oleh Allah dibanding karamah-karamah khushushan pada sejumlah kekasih-Nya. Ibu dan ayahku menampung hidup Gus Nur, menyediakan segelas air dan sepiring gaplek tiap sore untuk buka puasanya.
Sementara itu mereka hidupi juga lebih dari 30 anggota keluarganya, guru-guru, dan anak-anak yatim. Ayah ibuku pada suatu saat merasa berat, sehingga mengeluh kepada dulurmu Gus Nur, "Kamu enak ya, Nur? Tinggal melakukan hal-hal yang luhur. Puasa, berbuka, berkhotbah, berdakwah. Sedangkan kami orang-orang kecil ini harus membanting tulang mencarikan makan sekian banyak orang. Akhir-akhir ini kami sudah menjual hampir semua perabot. Kita boleh jatuh melarat, tapi sekolah dan masjid harus tetap jalan."
Gus Nur kemudian jatuh sakit dan beberapa waktu kemudian Allah mengambilnya. Ya Allah, cemburukah Engkau?
Kalau para kekasih Allah dibuka hijabnya, Ia cemburu, dan segera merebutnya. Jika orang-orang di sekitar kekasih Allah menguarkan posesivitas, rasa hak memiliki yang lokal dan egoistik, Allah akan mengambilnya.
Ya Allah, aku tahu Gus Mik bukanlah milik siapa-siapa, melainkan hanya milik-Mu belaka! Engkau yang membuatnya, Engkau yang mengirimnya, dan Engkau pula yang menarik-Nya kembali.
Tapi "Nabinda Musa" telah terlanjur bertanya kenapa "Maha Nabinda Khidlir" melakukan ini itu, kenapa meneguk minuman, kenapa ia terus mengembara dan terus melakukan perjalanan sepanjang malam tanpa henti?
Ya Allah, ampunilah kami, yang hanya mengerti batas nilai-nilai budaya yang lokal dan sempit. Ampunilah kami yang tak mampu memandang mahaluas kosmos cinta-Mu.