Derita Itu Dianggap Nikmat
BERITA
Tak ada sedikit pun keluhan yang muncul dari Gus Mik, Kiai Chamim Jazuli, meski kanker paru-paru terus menggerogotinya. Justru yang waswas adalah para santri dan orang-orang dekatnya. Yang jadi pertanyaan selama ini, mengapa Gus Mik begitu meremehkan penyakitnya, sampai-sampai keluarganya, termasuk istrinya, tidak diberi tahu? Bahkan, "empat sekawan" yang sangat dipercaya Gus Mik untuk menemani dan menungguinya, sama sekali tak mau buka mulut di mana Gus Mik dirawat. Berikut tulisan wartawan Jawa Pos, H. Sholihin Hidayat, yang selama ini dikenal sangat dekat dengan tokoh semaan Alquran Mantab itu:
Akhirnya, kekhawatiran saya selama tiga bulan terakhir ini menjadi kenyataan. Orang yang paling saya cintai dan saya kagumi dipanggil menghadap Allah SWT. Selama Ramadan lalu, saya masih bisa makan sahur bersama dengan Gus Mik di beberapa rumah makan di Surabaya. Begitu Idul Fitri tiba, Gus Mik lebih banyak istirahat secara berpindah-pindah dari hotel ke hotel. Peristiwa tadi malam adalah puncak kekhawatiran, bahkan ketakutan, yang saya alami selama ini, manakala Sang Pencipta benar-benar berkehendak mengambil Gus Mik. Innalillahi wainna ilaihi rajiun, Gus Mik berpulang ke rahmatullah. Gus Mik tutup usia.
Hampir-hampir saya tak bisa menguasai diri ketika mendengar berita kepulangan Gus Mik. Dada saya tiba-tiba sesak. Dan saya pun segera mengucap innalillahi dan surat Alfatihah. Mudah-mudahan amal perbuatan dan baktinya diterima Allah serta tergolong sedikit orang yang mendapat free pass khusus dari Allah SWT.
Kiai dengan sejuta umat yang tersebar di Jatim, Jateng, Yogyakarta, Jabar, dan DKI Jaya itu memang dikenal sangat gigih memperkenalkan Islam bukan hanya dari segi fikihnya saja, tetapi juga dari sudut nilai, estetika, pergaulan, dan juga intensitas komunikasi. Bagi Gus Mik, berkomunikasi dengan Tuhan bukan hanya di masjid, langgar, pondok, atau tempat-tempat mulia lainnya. Komunikasi bisa dilakukan di mana saja, di segala tempat—di terminal, jalan raya, pasar, bahkan di night club sekalipun.
Karena itu, penyakit kanker akut yang diderita Gus Mik sama sekali tak dianggapnya sebagai ujian, apalagi siksaan. Sakit adalah nikmat. Karena itu, harus disyukuri. Dalam sakit, komunikasi bisa dilakukan semakin intensif. Itulah pendirian Gus Mik, yang menggelar semaan Alquran Mantab sejak enam tahun lalu.
Sebenarnya, sakit yang diderita Gus Mik itu sudah lama dia rasakan. Namun, tak sekali pun terdengar keluhan dari mulutnya. Bahkan, sering dia malah mengucap alhamdulillah diberi sakit oleh Allah. Mengapa? "Dengan sakit inilah kita bisa mawas diri. Kita bisa semakin dekat dengan-Nya. Kita bisa merasakan bagaimana seandainya segala yang kita miliki ini diambil oleh yang empunya," itulah kata-kata Gus Mik ketika ditanya soal sakitnya.
Ucapan alhamdulillah juga terus meluncur saat penyakitnya makin parah dan berat badannya terus merosot. Sikap bersyukur dan selalu mengucap alhamdulillah selalu mewarnai tiap langkah dan geraknya. Ramadan lalu, ketika kankernya makin mengganas dan napasnya mulai dirasakan agak berat, Gus Mik tetap saja bersyukur dan malah tak mau diajak ke dokter. Bahkan, ketika akhirnya dia "menyerah" masuk rumah sakit lantaran "dipaksa" beberapa orang dekatnya, KH. Agus Ali Muhammad, HM. Slamet SH, B. Moetaryogo, dr. Tommy, Gus Mik tetap kelihatan ceria dan terus bersyukur.
Tapi, mengapa hanya mereka saja yang dipercaya menungguinya? Bukankah dia punya anak-istri, punya orang tua, dan saudara? Gus Mik memang memilih tak memberitahukan penyakitnya kepada siapa pun, termasuk istrinya, Ny. Lilik Suyati. Pertama, bagi dia penyakit bukan sebuah penderitaan. Penyakit adalah juga karunia manakala kita bisa merasakannya bukan sebagai penderitaan.
Kedua, dia tak ingin orang lain merasa susah dan repot lantaran dia sakit. Bukankah sakit adalah bagian inheren dan satu paket dengan kehidupan manusia. Tak ada manusia yang tidak pernah menderita sakit. Setiap orang pasti mengalaminya. Itulah prinsip Gus Mik.
Ketiga, Gus Mik sengaja melarang untuk memberitahukan sakitnya kepada siapa saja, juga di mana dia dirawat. Kalau sampai ada yang tahu, dikhawatirkan mereka akan berduyun-duyun ke rumah sakit atau ke tempat "persembunyian" Gus Mik.
Keempat, selama sakit, Gus Mik memang tidak ke mana-mana. Hanya berada di Surabaya dan sekitarnya. Meski dirawat di RS Budi Mulya, dia beberapa kali minta menginap di hotel untuk sekadar menghindari besukan orang. Beberapa kali dia menginap di Hotel Ramayana, Hasma Jaya, dan juga Elmi. Jadi, selama dalam perawatan dua bulan terakhir, Gus Mik masih saja "jalan-jalan" ke luar. Tapi tidak sampai pergi jauh ke luar kota, misalnya ke Solo, Yogya, Jember, dan sebagainya.
Gus Mik ternyata memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita. Sakit bukan derita, apalagi siksaan. Janganlah kita merasa bahwa Tuhan memberikan sakit lantaran Dia tak mencintai kita. Dalam kondisi sakit itulah justru kita harus memanfaatkannya sebagai media untuk muroqobah dan munajat kepada Allah SWT.
Dan, tadi malam, senyumnya yang khas mengulum di bibir, ketika dia dipanggil Allah. Hanya beberapa santri dekatnya yang sempat menyaksikan ketika dia dipanggil. Mudah-mudahan amal baiknya diterima Allah dan dosanya diampuni.