Gus Mik tentang Berbagai Masalah Aktual (2) Bila NU Ingin Bertahan dari Empasan Gelombang

BERITA

Ditulis Kembali Oleh : Wylldy. F. S & Khamdun

10/21/20243 min read

Perhatian Gus Mik demikian Kiai Chamim Jazuli biasa dipanggil oleh para anggota semaan Alquran terhadap masalah-masalah aktual ternyata cukup besar. Selain masalah politik, pemilu, demokrasi, dan juga pencoblosan, dia juga menaruh perhatian serius terhadap perkembangan jamiah Nahdlatul Ulama (NU).

Meski dia berkali-kali menegaskan belum pernah menjadi anggota NU, hampir semua orang sepakat bahwa Gus Mik berangkat dari kultur dan akar budaya yang sama dengan NU. Meski Gus Mik juga mengakui tak begitu banyak mengenal tokoh-tokoh formal NU baik di pusat maupun di daerah, sebaliknya hampir semua tokoh dan jamiah NU mengenal dia.

Sebagian besar warga NU tahu persis bahwa Gus Mik punya hubungan khusus dengan beberapa tokoh puncak NU. Almoghfuriah KH Achmad Shiddiq, rais aam PB NU, misalnya, termasuk tokoh yang sangat menaruh hormat kepada Gus Mik sampai akhir hayatnya. Begitu juga Ketua PB NU, KH Abdurrahman Wahid, sangat dekat dengan almukarrom Gus Mik. Sering juga dia meminta saran dan pendapatnya sebelum mengambil keputusan.

Beberapa tokoh ulama dan waliullah yang lain juga bersahabat dengan Gus Mik. Sosok seperti KH Zainuddin M.Z., Rhoma Irama, Setiawan Djodi, W.S. Rendra, dan Emha Ainun Nadjib, ternyata beberapa kali meminta nasihat Gus Mik, meski mereka sebenarnya tak punya jalur "langsung" dengannya.

Karena akarnya yang sama dengan NU serta hubungannya yang dekat dengan beberapa tokoh NU, pantas saja kalau Gus Mik juga berbicara soal jamiah bergambar bola dunia dikelilingi tampar itu. Ada juga kritik, saran, dan jalan keluar yang diberikan agar NU tetap survive.

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama), organisasi yang didukung ulama dan pesantren, mengalami pasang surut dalam sejarah Indonesia. NU yang didirikan di Surabaya pada 1926 punya andil besar dalam sejarah pergerakan. Begitu juga pada saat terjadi pemberontakan G30S/PKI sampai akhirnya melahirkan Orde Baru, tak seorang pun membantah peranan jamiah ini.

Di pentas politik, NU juga pernah menjadi "tiga besar", di samping PNI dan PKI. Pada masa Orde Baru, NU bahkan tetap menunjukkan keperkasaannya dalam kancah politik. Namun, setelah jamiah ini berfusi dengan tiga partai Islam dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sejarah mulai berbicara lain. Kehadiran NU kian tak diperhitungkan.

Jamiah ini pernah menjadi bulan-bulanan karena terlalu aktif dalam kegiatan politik praktis. Malahan NU sempat terkoyak-koyak oleh kepentingan politik, sampai akhirnya harus kembali menjadi jamiah diniyah (kembali ke khittah 1926) dalam Muktamar Ke-27 NU di Asembagus, Situbondo, pada Desember 1984.

Pasang surut jamiah ini juga mendapat perhatian serius dari Gus Mik. Menjelang Munas Ulama di Kaliurang, Yogyakarta, dan Muktamar di Situbondo, tokoh yang satu ini terlibat dialog intensif dengan KH Achmad Shiddiq, pimpinan pesantren Astra Asshiddiqiyah Putra, Jember. Sebelum Munas dan Muktamar, Kiai Achmad hanya dikenal sebagai ulama regional dan pemikirannya tak banyak diketahui umat. Gus Mik-lah yang punya peranan besar memberikan inspirasi dan pemikiran kepada Kiai Achmad, sampai kemudian lahir ide kembali ke khittah '26. "Saat Muktamar Ke-27 dilaksanakan di Pondok Salafiyah Syafi'iyah Asembagus, saya juga berada di dekat sana, tapi tidak sampai masuk ke pondok," kata Gus Mik, beberapa waktu lalu. Dan, muktamar itulah yang mencatat tampilnya duet Achmad Shiddiq-Gus Dur, masing-masing sebagai rais aam dan ketua umum PB NU.

Kiai Achmad lah yang mondar-mandir menemui Gus Mik di suatu tempat yang tak banyak diketahui orang. Meski ide kembali ke khittah itu mendapat tantangan hebat dari mayoritas tokoh NU, akhirnya toh disepakati secara bulat. Itulah salah satu keputusan spektakuler dalam sejarah NU.

Keputusan strategis itu kemudian disusul dengan keputusan maha penting lain, yakni NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal itu membuat NU menjadi organisasi kemasyarakatan pertama di Indonesia yang menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.

Menurut Gus Mik, perjalanan NU kini memasuki babak yang sangat menentukan untuk tahap berikutnya. Karena itu, diperlukan konsolidasi dan penataan yang menyeluruh. "Itu kalau memang kita menginginkan jamiah ini eksis dan bisa bertahan dari empasan gelombang kehidupan yang semakin keras," ujarnya. Keputusan kembali ke khittah '26 dinilai Gus Mik sangat tepat dan mendasar.

Sedangkan perwujudan keputusan itu dalam amal nyata harus lebih digalakkan, sehingga organisasi ini kian kokoh sebagaimana di awal pendiriannya. "Saya melihat banyak kegiatan NU yang tumpang tindih," jelas kiai karismatik itu.

Dinilai tumpang tindih karena banyak program yang satu dengan lainnya tidak saling mendukung. Ada juga program yang tidak menyeluruh dan belum bisa dirasakan umat secara keseluruhan. Malahan banyak juga yang tidak bisa berjalan lantaran tidak diperhitungkan dengan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki.

"Bahkan, kegiatan NU yang berupa amaliah praktis sekarang ini sangat kurang. Akibatnya, kehadiran NU kurang dirasakan oleh umat dan jamaahnya," tegasnya. Hal itu perlu disadari oleh pemimpin NU yang sekarang tengah memegang kendali organisasi.

Menurut dia, perjuangan dan kiprah pengurus NU perlu dipacu terus, terutama semangat berjuang tanpa pamrih dan hanya lillah.

Tanpa itu, kata Gus Mik, tentu kondisi NU tidak akan sebaik seperti yang dicita-citakan oleh assabiqunal awwalun, para sesepuh yang mendirikan NU.

Aktivitas yang dilakukan Gus Dur dinilai Gus Mik terlalu cepat, sehingga tidak bisa diikuti oleh jamaahnya. Bahkan, ada kesan warga NU terpontang-panting mengikuti jejak langkah ketua umumnya. Kadang juga ada bahasa Gus Dur yang tidak dipahami jamaahnya.

Gus Mik menyarankan, selama NU aktif dalam kegiatan-kegiatan yang telah diprogramkan dan diputuskan dalam muktamar, program-program amalan praktis dan memasyarakat seperti manaqib, istighotsah, dzikrul ghoffilin, wiridan, dan sebagainya, digalakkan kembali oleh NU. "Sebab, masa-masa yang akan datang akan dipenuhi dengan keprihatinan. Kita harus lebih mendekatkan diri kepada Zat Yang Maha Sutradara, Zat Yang Murben Dumadi," ujarnya.

Perjuangan yang keras untuk menjadikan NU kembali tegak lurus harus dilakukan secara nyata dan menyeluruh disertai dengan semangat tawakkul kepada Allah dan hati yang ikhlas.

H. Sholihin Hidayat