Hari-Hari Menjelang Gus Mik Tutup Usia (1) "Saya Serahkan Diri Saya sebelum Tanggal 9"
BERITA
Hari-Hari Menjelang Gus Mik Tutup Usia (1)
"Saya Serahkan Diri Saya sebelum Tanggal 9"
Firasat bahwa Gus Mik akan meninggal dunia sebenarnya sudah dirasakan oleh beberapa santri dekatnya yang selama dua bulan terakhir ini menemani dan mbaturi Gus Mik di rumah sakit. Bahkan, ibundanya, Ny. Hj. Jazuli, serta beberapa saudaranya sudah sejak tiga hari lalu mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk telisik yang akan digunakan di makam. Mulai hari ini, H. Sholihin Hidayat, wartawan Jawa Pos yang dikenal sangat dekat dengan Gus Mik, menuliskan secara bersambung beberapa hal menarik seputar Gus Mik.
Seminggu Terakhir Sebelum Kematian
Gus Mik ternyata sudah "pamit" ke beberapa orang, termasuk keluarganya. Pekan lalu, ketika kesehatan Gus Mik semakin menurun akibat penyakit kanker paru-paru yang dideritanya, beberapa santri dekatnya mencoba menghubungi keluarganya, yang selama ini selalu mendesak untuk menjenguk Gus Mik di RS Budi Mulia.
Ny. Hj. Lailatul Badriyah, saudara perempuan Gus Mik satu-satunya dan yang paling kecil, termasuk yang paling beruntung mendapat kesempatan untuk membesuk kakaknya di rumah sakit. Namun, kehadirannya justru tak diinginkan oleh Gus Mik.
Hal ini terlihat jelas ketika empat sekawan yang selama ini menemani Gus Mik, yaitu Agus Ali Muhammad, H. M. Slamet SH, Baba Mostaryogo, dan Gus Tajuddin (putra tertua Gus Mik), dimarahi karena membocorkan tempat dia dirawat. Gus Mik kemudian mengusut siapa yang membocorkan informasi tersebut. Setelah ditemukan pelakunya, muncul larangan keras dari Almaghfurlah bahwa seluruh keluarga Pondok Pesantren Al Falah Ploso, Mojo, Kediri tak boleh datang lagi ke rumah sakit.
Kedatangan Bu Bad (panggilan akrab adik bungsu Gus Mik) membawa pesan khusus dari Nyonya Sepuh (istri Almaghfurlah KH Jazuli, ayahanda Gus Mik): "Apa pun dan bagaimana pun kondisi Gus Mik, kami ingin dia dibawa pulang saja ke Ploso. Biar keluarga yang merawatnya," demikian pesan itu disampaikan. Namun, Gus Mik yang selama setahun terakhir ini tak pernah pulang ke rumah anak-istri atau ke pondok, tidak berkenan dengan pesan itu. Meskipun tidak senang, dia sama sekali tidak menunjukkan sikap marah atau membalasnya dengan kata-kata yang menyakitkan. "Ya, saya akan segera menyerahkan jiwa dan raga saya sebelum tanggal 9 Juni," demikian jawabannya ketika itu.
Pesan itu belum sepenuhnya dipahami oleh keluarganya. Namun, dua hingga tiga hari sebelum Gus Mik dipanggil Allah, beberapa saudara dan ibundanya mendapat firasat yang makin jelas. Meski begitu, mereka enggan menjelaskan secara rinci firasat yang mereka dapatkan.
Persiapan Keluarga
"Dari segi medis, penyakit Gus Mik memang sudah sangat parah. Kerongkongannya sudah tersumbat kanker yang ternyata juga sudah menjalar ke mana-mana. Karena itu, musyawarah keluarga kemudian memutuskan untuk mengadakan persiapan, siapa tahu dalam beberapa hari lagi Gus Mik benar-benar dipanggil," kata KH Achmad Zainuddin, kakak tertua Gus Mik.
Sejak mendapat penjelasan secara medis bahwa penyakit Gus Mik makin kritis, keluarga Ploso selalu mengadakan kontak dengan empat sekawan di Surabaya. Berdasarkan perkembangan itulah, keluarga mengadakan musyawarah dan persiapan.
Selain kesimpulan medis, berbagai firasat juga makin memperjelas situasi. Namun, Gus Din (panggilan akrab KH Achmad Zainuddin) tetap ingin rasional dan tidak menjadikan firasat sebagai alasan utama untuk menyiapkan segala sesuatunya. Begitu juga dengan saudara-saudara Gus Mik lainnya yang tetap berusaha tidak larut dengan firasat tersebut.
"Meski begitu, Rabu malam pekan lalu, dua hari menjelang Gus Mik tutup usia, saya sempat memesan telisik (kayu untuk menutup jenazah di liang lahat) di Kediri, untuk berjaga-jaga," kata Gus Din. Telisik pesanan itulah yang kemudian digunakan untuk menutup jenazah Gus Mik yang meninggal pada Sabtu malam pukul 19.40 dalam usia 52 tahun.
Pesan Terakhir
Gus Mik sendiri juga berpesan kepada empat sekawan agar beberapa santri dekatnya dihubungi, termasuk wartawan Jawa Pos, Sholihin Hidayat. Namun, meskipun sudah dihubungi, mereka tidak langsung bisa masuk ke ruang rawat Gus Mik di kamar 401 RS Budi Mulia. Mereka hanya diminta oleh Gus Mik untuk tidak melupakan beberapa orang yang diminta untuk dikontak. Gus Mik juga meminta agar beberapa santri khusus itu diundang dalam acara semaan Alquran di rumah Gus Ali Muhammad (Doyong), Rungkut, Jumat lalu.
Dua hingga tiga hari terakhir ini, mereka selalu berada di rumah sakit, dan mereka inilah yang kemudian berada di dekat Gus Mik ketika kiai dengan sejuta umat itu mengembuskan napas terakhirnya. Di antara mereka adalah Gus Ali, Slamet SH, Baba, Gus Tajuddin, Ny. Nana Fauzana (istri dr. Tommy Sunartomo), Saiful, Imam, Bahak, Malik, dan Ny. Yuli.
Kepada mereka, Gus Mik berpesan agar tidak pergi ke mana-mana sebelum tanggal 9 Juni. "Sebab, saya akan pergi jauh sebelum 9 Juni," demikian kata Slamet menirukan ucapan Gus Mik. Ny. Nana, yang dikenal sangat gesit dalam kegiatan-kegiatan sosial, juga menyatakan hal yang sama.
Menurut Nana, pesan itu juga disampaikan kepada beberapa paramedis yang secara tekun ikut merawat Gus Mik. "Anak-anak ini saya minta sabar merawat saya. Juga saya minta berlaku baik dengan orang-orang yang menemani saya, khususnya Bu Nana. Sebab, saya akan pergi tidak lama lagi," tambah Nana menirukan pesan dari Gus Mik, yang juga kadang dipanggil "artis" oleh sebagian santrinya.
Meski pesan dan isyarat sudah jelas diberikan oleh Gus Mik, mereka tetap yakin bahwa kiai yang mereka cintai itu tak akan secepat itu dipanggil Yang Kuasa. Terlebih lagi, kehadiran sosok kiai semacam Gus Mik di tengah arus globalisasi seperti sekarang ini membawa arti yang sangat mendalam dan luas. Gus Mik sangat akomodatif dalam menyikapi setiap permasalahan yang muncul, sehingga dia dinanti dan diminati banyak orang, terutama mereka yang haus kasih sayang Tuhan.
Firasat dan Kepergian Gus Mik
Firasat dan pamitan itu makin jelas ketika sejak Sabtu pagi, Gus Mik sudah sulit bernapas, meskipun siang harinya kondisi kesehatannya sempat membaik dan ia sempat salat dengan berdiri. Menjelang sore, suara Gus Mik makin tidak jelas. Yang terdengar jelas dari mulutnya hanya ucapan alhamdulillah dan lailaaha illallah.
Sekitar pukul 19.40, kiai karismatik dan tokoh sentral semaan Alquran itu benar-benar tiada. Bapak, guru, sahabat, kiai, ulama, "pacar," dan kawan yang kita cintai telah pergi untuk selamanya. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Satu per satu, sesuatu yang kita cintai, apa pun bentuknya, akan dipanggil menghadap-Nya. (Bersambung)