Otoritas Kiai dalam Pemilu 1992

BERITA

Ditulis Kembali Oleh : Wylldy. F. S & Khamdun

10/28/20244 min read

Kebijakan OPP 'merangkul kiai dalam Pemilu bertolak dari anggapan bahwa otoritas kiai sangat menentukan pandangan politik santri. Dengan demikian, jika kiai memilih salah satu OPP, otomatis pengikutnya ikut memilih OPP yang dipilih kiainya.

Keberadaan para kiai pada dasarnya terikat suatu mata rantai keilmuan, yang bermuara kepada dan diwariskan pesantren-pesantren yang tua, yang dijadikan kiblat panutan. Bagi OPP, untuk mudahnya, mereka menyukai merangkul kiai dari pesantren besar yang tua, yang dianggap menjadi kiblat panutan para alumninya yang sebagian menjadi kiai. Kebijakan Golkar dalam Pemilu 1992 merangkul para kiai dari beberapa pesantren besar, tidak salah. Itu bertolak dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, di mana peradaban politiknya sangat mempengaruhi para pengikutnya. Pada beberapa sisi, Golkar kurang cermat dalam menangkap fenomena perubahan di berbagai pesantren besar beserta kompleksitas permasalahan kalangan pesantren pada umumnya.

Beberapa fenomena perubahan di pesantren yang kurang cermat ditangkap oleh Golkar adalah (1) wafatnya para kiai sepuh pemimpin pesantren, (2) para kiai muda pengganti kiai sepuh belum menunjukkan kualitas kekiaian secara optimal sehingga tidak dijadikan kiblat panutan, (3) para kiai dari pesantren kecil-kecil lebih bebas menentukan garis kebijakan politiknya tanpa mengikuti kebijakan para kiai muda pengganti kiai sepuh, (4) para kiai muda pengganti kiai sepuh banyak yang berpendidikan formal dari Timur Tengah sehingga orientasi politiknya berbeda dengan pendahulunya, (5) aspirasi para kiai yang berarati lokal secara umum sering tidak tersalurkan dengan baik, (6) kesempatan kiai berkiprah dalam politik tidak diberi tempat memadai di Golkar, (7) pendekatan Golkar sering dinilai sebagai pendekatan persuasif (menurut Gus Dur, pendekatan amplop).

Tidak terbacanya perubahan-perubahan di dunia pesantren oleh Golkar terlihat dari jalinan keakraban antara tokoh-tokoh Golkar dan para kiai muda yang tidak populer di mata para kiai pada umumnya. Selain itu, keakraban secara berlebihan antara tokoh Golkar dan kiai yang memiliki reputasi buruk justru menjadikan bumerang bagi Golkar. Para kiai yang jumlahnya ribuan makin tidak bersimpati pada Golkar yang dianggap secara langsung atau tidak ikut memperburuk citra kiai. Sementara, kasus-kasus tidak simpatik yang dilakukan kalangan birokrat secara langsung bersinggungan dengan kepentingan para kiai menjadi sandungan bagi Golkar. Pendekatan Golkar terhadap para kiai dari pesantren-pesantren besar untuk Pemilu 1992 boleh dikata keliru besar. Pendekatan itu tidak disertai kecermatan dalam melihat fenomena perubahan yang terjadi di pesantren. Sementara kasus-kasus yang bersifat lokal, yang biasanya melibatkan kalangan birokrat, seringkali justru menjadi "ganjalan" bagi para kiai lokal untuk memilih Golkar.

Para Kiai dalam Pemilu 1992

Dibanding Pemilu sebelumnya, keterlibatan para kiai dalam kampanye OPP tahun 1992 boleh dikata kurang tampak. PPP, yang secara kenyataannya tidak banyak menampilkan sosok-sosok kiai dalam kampanyenya, menunjukkan bahwa keberadaan kiai dalam kampanye Pemilu 1992 terkesan tidak terlibat. Cukup wajar jika pengamat sosial seperti Riswandha menengarai otoritas kiai merosot dalam menentukan arah politik para santri.

Ketidakterlihatan sebagian besar kiai dalam kampanye 1992 tidak bisa disimpulkan sebagai merosotnya otoritas kiai. Jika dicermati pada arus bawah dalam realita kehidupan masyarakat pesantren, otoritas kiai tetap menentukan orientasi politik para santri, meski belum mencuat ke permukaan sehingga sulit dibaca. Beberapa kasus yang berkait dengan otoritas kiai, yang berakibat fatal bagi perolehan suara Golkar, penting dikemukakan sebagai ilustrasi bermanfaat untuk membaca kebijakan politik para kiai di masa mendatang. Beberapa kasus yang patut disimak, antara lain:

  1. Yang berkaitan dengan santernya berita dipetieskan mengenai perkara "bancakan tanah bengkok" yang ditengarai melibatkan seorang bupati. Para kiai di kabupaten bersangkutan yang secara tradisional menjadi tumpuan keluhan masyarakat menganggap pejabat yang seharusnya ikut bertanggung jawab dalam perkara itu tidak pantas lagi memimpin rakyat. Diam-diam, muncullah fatwa para kiai di kabupaten bersangkutan yang menyeru agar masyarakat tidak memilih Golkar dalam Pemilu 1992. Alasannya sangat sederhana, bahkan terkesan lokal dan situasional. Mereka berpikir, cepat atau lambat pejabat bersangkutan pasti diturunkan dari jabatannya. Dengan demikian, manuver politik para kiai kabupaten tersebut semata-mata lokal dan situasional sifatnya. Sementara, hal-hal lokal dan situasional itu justru kurang diperhatikan oleh Golkar.

  2. Yang berkait dengan perilaku seorang bupati yang bersikap tidak simpatik (merendahkan) kepada para kiai dan tidak menyukai perkembangan Islam di daerahnya. Para kiai secara moral harus menegakkan ajaran Islam terutama faham Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang mempunyai doktrin kekiaian diam-diam mengeluarkan fatwa kepada masyarakat santri agar tidak memilih Golkar. Alasannya sederhana: perolehan suara Golkar menurun atau kalah, dengan target utama bupati yang dianggap antikiai diganti dengan yang baik akhlaknya.

  3. Yang berkait dengan pendekatan persuasif (amplop) yang dilakukan Golkar terhadap kiai tertentu yang dianggap mempunyai jamaah besar. Entah seberapa besar dana yang disuntikkan Golkar untuk kiai bersangkutan, yang jelas pada setiap acara mengaji massal, senantiasa diangkatlah kesan seolah-olah kiai bersangkutan secara formal memilih Golkar. Namun, apakah kiai bersangkutan benar-benar memilih Golkar dan menyeru seluruh pengikutnya memilih Golkar? Tidak seorang pun di antara tokoh Golkar tahu. Para tokoh Golkar hanya tahu perolehan suara merosot cukup besar, terutama di daerah tempat kiai bersangkutan berada. Fakta itu benar-benar di luar dugaan. Kasus ketiga ini sangat unik, sebab kiai yang diharapkan oleh Golkar bisa mendatangkan perolehan suara besar, secara langsung atau tidak malah menghabiskan suara Golkar. Tentu saja berkaitan dengan fatwa-fatwa sang kiai yang secara mudah bisa disalahtafsirkan para pengikutnya yang rata-rata berpendidikan rendah.

  4. Satu ketika, dalam pengajian massal, sang kiai menyerukan kepada para pengikutnya memilih di antara tiga golongan manusia: (1) manusia yang selamat di dunia dan selamat pula di akhirat, (2) yang selamat di salah satunya, (3) yang celaka di kedua-duanya. Sadar atau tidak, sang kiai seolah-olah memberikan kebebasan kepada para pengikutnya memilih nomor yang mereka sukai. Para pengikut pengajian yang rata-rata awam itu langsung memilih nomor satu. Celakanya, seruan dari kiai tersebut dicetak pada kalender yang disebarkan kepada para jamaah mendekati saat pemilu, sehingga terkesan seolah-olah kiai bersangkutan menyuruh jamaahnya memilih OPP nomor satu.

  5. Para kiai muda dari pesantren besar yang didekati Golkar sering "mbalelo". Satu saat, seorang kiai muda akrab dengan Golkar sedemikian rupa, namun saat mendekati pemilu justru berkampanye untuk PPP. Kenyataan itu mengagetkan Golkar karena tak pernah menduganya. Toh mereka tak dapat berbuat apa-apa karena keakraban yang mereka jalin tidak merugikan secara hukum.

Kesimpulan

Jelas otoritas kiai di Jawa, terutama di Jatim, tidak merosot seperti terungkap dalam diskusi CSIS. Memang tidak dapat diingkari, salah satu faktor penyebab kemerosotan perolehan suara Golkar di Jatim adalah para kiai. Tetapi itu bukan terjadi karena merosotnya otoritas, justru otoritas kiai diam-diam menggiring para santri untuk tidak memilih Golkar. Adanya seruan tokoh bekas Partai Masyumi tampaknya masih ampuh mempengaruhi kalangan modernis termasuk kalangan menengah intelektual agar menyalurkan aspirasi politiknya melalui PPP.

Jelas bagi Golkar maupun OPP lain jika pada pemilu mendatang ingin merangkul kiai, mereka harus melakukan pendekatan kultural secara memadai baik kepada kiai maupun santri. Khususnya untuk Golkar, hendaknya persoalan-persoalan lokal dan situasional diperhatikan benar penyelesaiannya. Yang tidak kalah pentingnya, hendaknya ketiga OPP dalam studi lapangan tidak sekadar menurunkan peneliti kampus yang seringkali tidak memahami problem-problem pesantren. Bagaimana pun, otoritas kiai, terutama yang berkaitan dengan barokah dan ijazah, tak pernah bisa dipahami oleh dunia di luar pesantren, apalagi dunia kampus.

Oleh Drs Agus Sunyoto, MPd